Jepang datang
bukan hanya untuk memenuhi ramalan Jayabaya tapi juga mengingkarinya.
Perlawanan pun muncul dari gerakan Djojobojo.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
RAMALAN Jayabaya
telah lama hidup di tengah masyarakat Jawa. Mereka yakin pemerintah
kolonial Belanda akan berakhir karena ramalan Jayabaya menyebutkan,
“ayam jantan berbulu kekuning-kuningan, yang datang dari sebelah timur
laut akan mengusir kerbau bule bermata biru.” Masyarakat Jawa yakin,
tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional I, yang dimaksud ayam jantan berbulu kekuning-kuningan yang datang dari timur laut adalah Jepang.
Tak heran jika
kedatangan Jepang disambut dengan suka-cita oleh rakyat. Dan untuk
menarik dukungan rakyat demi kepentingan perang, “Jepang juga ternyata
menyebarkan selebaran dengan pesawat-pesawat udara yang dengan pandai
mempergunakan ramalan Djojobojo untuk memberi janji kepada rakyat
Indonesia,” tulis Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Selebaran
itu berbunyi: “Raja Djojobojo di Kediri pernah berkata bahwa bangsa
kulit kuning akan datang menolong bangsa Jawa dan sekarang kamilah yang
datang menolong...”
Namun, Jepang
tentu tak mengakui penggalan ramalan Jayabaya berikutnya yang
menyebutkan, “bangsa kulit kuning akan memerintah tanah Jawa hanya
selama seumur jagung.” Penggalan ini pula yang justru menjadi harapan
bukan hanya rakyat kecil tapi juga cendekiawan dan kalangan militer,
misalnya para pemuda yang masuk Pemuda Tanah Air (Peta). Mereka percaya
Jepang akan pergi dan Indonesia akan merdeka.
Dengan
menggunakan nama ramalan itu pula, kelompok komunis, yang menetapkan
fasisme sebagai lawan sejak diputuskan dalam Kongres Komunis
Internasional VII di Moskow pada 1935, melakukan perlawanan terhadap
Jepang dengan membentuk gerakan Djojobojo. Gerakan ini dipimpin Mr
Mohammad Joesoeph, berpusat di Bandung dan mencapai daerah sekitarnya,
Indramayu dan Cirebon. Di antara kader-kadernya terdapat Bahri, Hidayat,
K. Muhidin, Suminta, Mohammad Sain, O. Sugih, Parnawidjadja, dan Azis.
Menurut Soeranto Soetanto dalam Pemberontakan PKI Mr. Mohammad Joesoeph Tahun 1946 di Cirebon,Joesoeph
lahir di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, pada 17 Mei 1910. Dia anak
seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda, sehingga dapat mengenyam
pendidikan ELS (Europeesch Lagere School), HBS V (Hogere Burger School),
bahkan mendapatkan ijazah sarjana hukum dari Universitas Utrecht,
Belanda, pada 1937 –selain sempat belajar ilmu ekonomi di Universitas
Berlin. Sekembalinya ke Indonesia, dia menjadi pengacara pada 1938, dan
mendapatkan simpati karena selalu membantu rakyat yang lemah di
pengadilan.
Joesoeph juga
menceburkan diri ke dalam dunia politik dan berbagai organisasi. Pada
1939, dia mendirikan Persatuan Supir Indonesia (Persi) di Cirebon.
Organisasi sopir yang didirikannya, tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I,
tampaknya berhasil dengan program radikalnya, yang melihat adanya
ikatan antara perjuangan serikat buruh dan aksi politik sebagai yang
diharapkan dan mutlak diperlukan. “Sebagai kelanjutannya Joesoef juga
ikut berperan dalam mendirikan Partai Buruh Indonesia tahun 1941,” tulis
Poeze.
Pada 1942,
Joesoeph menjadi anggota Gerindo di Bandung, karenanya menjalankan
politik antifasis. Masih di Bandung, dia juga menjadi ketua Gabungan
Perdagangan Indonesia (Gapindo) pada 1943. Sebagai kekuatan gerakan
Djojobojo, “Joesoeph mengorganisasikan sopir-sopir taksi/kendaraan
bermotor lainnya di wilayah Cirebon-Bandung-Tasikmalaya,” tulis Soe Hok
Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Menurut Soeranto,
dalam pergaulan sehari-hari di mata masyarakat Cirebon, “Joesoeph
mempunyai sifat sombong, angkuh, tetapi penuh dengan keterus-terangan
pribadinya.” Di kalangan pemuda, dia dikenal sebagai “mister gendeng”
karena berani melawan dan memaki-maki Jepang di muka umum. “Karena itu,
banyak pemuda yang kagum dengan keberaniannya. Bahkan, sebagai
revolusioner tua, pengaruhnya besar antara lain memengaruhi D.N. Aidit,”
tulis Gie.
Dalam kegiatan
revolusionernya, Djojobojo berhubungan dengan grup antifasis Mr
Soeprapto. Lahir di Tuban pada 1905, Soeprapto aktif di Jong Java,
Indonesia Muda, Suluh Pemuda Indonesia, Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia, dan lulus fakultas hukum Recht Hogere School (Sekolah Tinggi
Hukum) Jakarta pada 1940. “Sejak menjadi ketua Persi Cirebon, Joesoeph
berkenalan dengan Soeprapto yang menjadi pimpinan Persi Semarang,” tulis
Soeranto. Beberapa kader Soeprapto antara lain Abdullah, Sukirman,
Abioso, Marlan, dan Rubia.
Menurut Sidik
Kertapati, kegiatan Djojobojo dan kelompok Soeprapto terutama terdapat
di kalangan kaum buruh bermotor, buruh minyak, perkebunan, dan
sebagainya, di mana mereka melakukan taktik sabotase untuk menggagalkan
jalannya produksi untuk tujuan perang. “Pada tahun 1943 gerakan
Djojobojo membongkar rel kereta api antara Banjar dan Pangandaran yang
membawa akibat tergulingnya kereta api militer Jepang dan putusnya
hubungan antara kedua tempat itu untuk beberapa waktu lamanya,” tulis
Sidik. “Juga di Nagrek, Garut, sabotase ini dilakukan lagi, tapi gagal.”
Seperti pada
Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang dipimpin Amir Sjarifuddin, Gie
menaruh keraguan pada kegiatan Djojobojo. “Kita tidak dapat menilai daya
gerak dan aktivitas Joyoboyonya. Walaupun Sidik Kertapati menyatakan
bahwa mereka pernah menyabot kereta api, sebagai grup bawah tanah hasil
terbesarnya terbatas pada aksi-aksi propaganda,” tulis Gie. Soeranto
mengemukakan pendapat senada: “Gerakan ini terbatas hanya pada aksi
propaganda anti-Jepang.”
Meski begitu,
Djojobojo masuk daftar hitam Jepang. Menurut Sidik, untuk menangkap
anggota Dojobojo, Jepang mengadakan konferensi Joyoboyo palsu dengan
menyiarkan undangannya di media massa. “Banyak di antara kader
revolusioner yang tidak waspada terpancing karena tipu-muslihat itu
kemudian tertangkap,” tulis Sidik. “Berpuluh kader dan anggota Djojobojo
dimasukan ke penjara, dan di antara mereka yang menjadi korban dan
dihukum mati adalah Parnawidjadja, Lukman, dan Tas’an.”
Joesoep sendiri
tak tertangkap. Dia menyusup menjadi siswa atau penghuni Asrama
Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80 Jakarta yang didirikan pada 1944
atas dukungan Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Di asrama yang
dikelola Mr Ahmad Subardjo dan Wikana ini, tulis Soeranto, Joesoeph
membangun sel PKI bersama Soeprapto, yang kemudian sel ini menjelma
menjadi PKI legal pada 21 Oktober 1945 dan diakui pemerintah pada 7
November 1945. Tak lama kemudian, PKI Joesoeph melakukan pemberontakan
di Cirebon pada 12 Februari 1946. Joesoeph dan Soeprapto divonis empat
tahun penjara.
Petualangan “mister gendeng” berakhir pada 1953. Dia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas.
SUmber:
warofweekly.blogspot.com
Thanks for reading:
Djojobojo Menentang Jepang